Peran Tempat Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

Peran Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

1  Peran Daerah dalam Perjuangan Kemerdekaan

Kondisi kemiskinan, penderitaan dan keterbelakangan bangsa Indonesia akhir penjajahan telah mendorong dan melahirkan putra-putri kawasan dari Sabang hingga Merauke untuk memperjuangkan dan mengembalikan kemerdekaan melalui pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Untuk mengabadikan semangat usaha putra-putri bangsa, pemerintah telah memutuskan para pejuang sebagai pendekar bangsa menyerupai Sultan Iskandar Muda, Tjut Nyak Dien (Aceh), Si Singa Mangaraja (Batak- Sumatra Utara), Imam Bonjol (Minangkabau-Sumatra Barat), Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Sultan Agung (Jawa Tengah), Untung Suropati (Jawa Timur), Jalantik (Bali), Anak Agung Gede (lombok), Pangeran Antasari (Kalimantan), Sultan Hasanudin (Makasar Sulawesi Selatan), Pattimura (Ambon- Maluku) dan sebagainya.


Perjuangan dan pemberontakan putra-putri kawasan untuk mengusir penjajah di atas mengalami kegagalan, namun semangatnya tidak pernah padam menyerupai maksud peribahasa “Patah tumbuh hilang berganti ; Mati satu tumbuh seribu. Ditilik dari sisi ketahanan nasional, kegagalan usaha tersebut disebabkan oleh kombinasi dari faktor-faktor berikut :
1.   Pemerintah kolonial menerapkan politik pemecah-belahan terhadap rakyat (devide et impera)
2.   Perjuangan dan pemberontakan bersifat kedaerahan atau lokal sehingga gampang dipatahkan oleh pemerintah kolonial
3.   Para pejuang kalah dalam sistem persenjataan baik sistem senjata tehnologi/fisik (SISTEK) maupun sistem senjata sosial/psikologi (SISSOS).
4.   Pemerintah kolonial melaksanakan tipu tipu daya (politicking ; politik curang) melalui janji-janji negosiasi tetapi justru dipakai untuk menjerat dan menangkap para pejuang

Kegagalan usaha putra-putri kawasan tersebut telah mengilhami adanya aliran gres dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur nonfisik yang dipelopori oleh Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Ide dasar Budi Utomo yakni memajukan bangsa dan menumbuhkan semangat nasionalisme melalui jalur pendidikan sehingga bangsa Indonesia bisa mengurus negara yang merdeka dengan kekuatan sendiri. Gagasan Budi Utomo selanjutnya menggugah dan mendorong lahirnya banyak sekali organisasi politik menyerupai Sarikat Islam, NU, Muhammadiyah, PNI, Parkindo dan sebagainya. Perjuangan baru/nonfisik yang dirintis Budi Utomo tersebut selanjutnya dikenang dan diabadikan sebagai Angkatan 08 Atau Angkatan Perintis, yang setiap tahun diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional.

Berdirinya organisasi sosial politik pasca Budi Utomo meskipun azasnya berbeda-beda, namun seluruhnya mempunyai tujuan dan tekad yang sama yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia. Perwujudan rasa persatuan dan kesatuan sebangsa setanah air mencapai puncaknya pada Kongres Pemuda yang menghasilkan Ikrar Pemuda atau Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Kongres Pemuda yang merupakan upaya mempersatukan perjaka dari banyak sekali kawasan menghasilkan keputusan penting bagi kelanjutan usaha dan berdirinya NKRI sebagaimana yang dinikmati bangsa Indonesia kini ini. Keputusan dikenal dengan Sumpah Pemuda yang berisi pernyataan : Kami Putra-Putri Indonesia, mengaku :
1.   Bertumpah darah yang satu tanah (air) Indonesia
2.   Berbangsa satu bangsa Indonesia
3.   Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia
Pada dikala itu pula, untuk pertama kali dikumandangkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman, yang selanjutnya ditetapkan sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia

Kongres Pemuda 28/10/’28 dalam aturan dan ketata negaraan Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting dan sebagai tonggak usaha strategis dalam mewujudkan Integrasi Nasional sehingga Sumpah Pemuda mempunyai kekuatan yang mengikat bagi segenap komponen bangsa untuk mempertahankan dan mengamankannya selama mungkin. Jika dicermati secara teliti dan hati-hati, maka inti Kongres Pemuda yakni tuntutan Indonesia merdeka, berparlemen dan berpemrintahan sendiri. Untuk mengenang sumpah perjaka tersebut maka tonggak sejarah tersebut dinamakan Angkatan Penegas Atau Angkatan 28.

Kedatangan Jepang pada tahun 1942, yang pada awalnya dianggap sebagai saudara bau tanah dan juru selamat, ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah dan tentara Jepang bertindak kejam, bengis dan keji terhadap rakyat Indonesia. Sekali lagi bangsa Indonesia dimatangkan oleh sejarah, di mana penjajahan selalu mengakibatkan kehidupan bangsa menjadi tertindas, menderita, sengsara, miskin, melarat, kurang cendekia dan dinistakan. Belajar dari pengalaman dijajah Belanda dan Jepang tersebut maka semangat dan tekad bangsa Indonesia semakin mengkristal sehingga pemberontakan terjadi di banyak sekali daerah, menyerupai pemberontakan PETA di Tasikmalaya dan Blitar. Kedatangan Jepang semakin memantapkan nasionalitas dan nasionalisme bangsa, serta usaha fisik dan nonfisik untuk menyiapkan banyak sekali perangkat menuju Indonesia merdeka. Dengan berakhirnya perang dunia II, Jepang mengalami kekalahan besar  dan takluk kepada sekutu sehingga Indonesia mengalami kevakuman pemerintahan. Kondisi ini segera dimanfaatkan oleh Ir Soekarno (Bung Karno) dan Drs. Muhammad Hatta (Bung Hatta), untuk memproklamasikan kenerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.





2. Peran Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Saat Ini
Masih ingat Kamu akan unsure-unsur negara yag menjadi syarat berdiri suatu Negara? Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933 yang diselenggarakan oleh negara-negara Pan-Amerika di Kota Montevideo, bahwa suatu negara harus mempunyai unsur-unsur : a)  penduduk yang tetap,  b) wilayah/daearah tertentu,  c) pemerintah, dan d) kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain.  Sedangkan  Oppenheim-Lauterpacht berpandangan bahwa unsur-unsur pembentuk (unsur konstitutif ) negara yakni a) harus ada rakyat, b) harus kawasan (wilayah), dan c) pemerintah yang berdaulat. Selain unsur tersebut ada unsur lain yaitu adanya ratifikasi oleh negara lain sebagai unsur deklaratif .

Terbentuknya suatu negara akan didahului oleh terbentuknya suatu daerah. Oleh lantaran itu, terdapat suatu keterkaitan yang bersahabat antara Negara dan Daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan kawasan yakni sebagai cikal bakal bagi terbentuknya Negara sekaligus sebagai satuan territorial dan satuan pemerintahan yang terbawah, termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kenyataan yang terjadi adalah, pengaturan dalam Konstitusi hanya membagi NKRI yang terbagi atas kawasan provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan didalam pemerintahan kabupaten/kota terdapat pemerintahan desa. Hal tersebut menciptakan kedudukan desa dalam NKRI menjadi tidak jelas.

Bukti bahwa kedudukan kawasan yakni sebagai cikal bakal bagi terbentuknya Negara yakni ketika PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang memutuskan pembagian wilayah pemerintaan Republik Indonesia di kawasan dalam susunan teritorial yang terdiri dari Provinsi, Keresidenan, Kotapraja (Swapraja), dan Kota (Gemeente) sebagai berikut: 1)   Daerah Republik Indonesia dibagi atas 8 (delapan) Provinsi, yaitu; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil; 2)  Provinsi dibagi kedalam Keresidenan-keresidenan; 3) Kedudukan Kooti dan Kota diteruskan sesuai keadaan dikala itu. Adapun pembagian wilayah Negara Republik Indonesia dikala berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yakni 1) Propinsi; 2) Kabupaten/Kota (administrative), 3) Kecamatan dan 4) Desa.

Kemajuan kawasan besar lengan berkuasa postif bagi kemajuan bangsa. Itulah sebabnya melalui Undang Undang Pemerintah Daerah, negara menerapkan asas desentralisasi dan otonomi kepada daerah. Pemberian desentralisasi dan otonomi kepada daerah, memungkinkan setiap  daerah  untuk  berkembangnya  keberagaman  daerah  sesuai  dengan potensi,  budaya  dan  kekayaan  yang  dimiliki  daerah  masing-masing  yang berdampak bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan peningkatan  indeks  pembangunan  manusia  dan  peningkatan  kesehatan, pendidikan dan pendapatan masyarakat.

Agar pelaksanaan desentralisasi dan otonomi kawasan ini berhasil dengan baik, selanjutnya Litvack & Seddon (dalam Wasistono 2002:19) dibutuhkan adanya lima kondisi, yaitu:
1.  Kerangka kerja desentralisasi harus memperlihatkan kaitan antara pembiayaan lokal dan kewenangan fiskal dengan fungsi dan tanggungjawab kontribusi pelayanan oleh Pemerintah Daerah.
2.   Masyarakat setempat diberi informasi mengenai kemungkinan-kemungkinan biaya pelayanan serta sumber-sumbernya, dengan impian keputusan yang diambil oleh Pemda menjadi lebih bermakna.
3.       Masyarakat memerlukan prosedur yang terang untuk memberikan pandangannya sebagai upaya mendorong partisipasinya
4.       Harus ada sistem akuntabilitas yang berbasis publik dan informasi yang tranparan yang memungkinkan masyarakat memonitor kinerja Pemerintah Daerah
5.    Harus didesain instrumen desentralisasi menyerupai kerangka kerja institusional, struktur tanggungjawab kontribusi pelayanan dan sistem fiskal antara pemerintah.






= Baca Juga =



LihatTutupKomentar